PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter kembali
menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah satu program
prioritas Kementerian Pendidikan Nasional. Meski sebenarnya dalam beberapa
tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik melalui konperensi, seminar dan
pembicaraan publik lainnya, belum banyak terobosan kongkrit dalam memajukan
pendidikan karakter. Dengan kebijakan Mendiknas, pendidikan karakter sudah
saatnya dapat terlaksana secara kongkrit melalui lembaga-lembaga pendidikan dan
masyarakat luas.
Segera jelas, pendidikan karakter
terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama.
Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai
yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau
kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi
panutan bagi masyarakat. Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan
transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan proses sangat strategis dalam
menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama
juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia
untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang
penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional
sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter,
berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi
mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak
luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali
globalisasi.
Kondisi
watak atau “karakter” manusia umumnya dewasa ini, sejak dari level
internasional sampai kepada tingkat personal individual, khususnya bangsa kita,
kelihatan mengalami berbagai disorientasi dan kemerosotan. Karena itu, harapan
dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir
untuk pembangunan kembali watak atau karakter melalui pendidikan karakter
menjadi semakin meningkat dan nyaring. Karena itu, kebijakan Mendiknas
mengutamakan pula pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam
konteks ini di tanah air kita.
Sekarang ini dari hari ke hari kita
menyaksikan semakin meningkatnya penyimpangan moral dan akhlak pada berbagai kalangan
masyarakat. Karakter bangsa yang sebelumnya berpegang pada ajaran-ajaran agama,
nilai-nilai luhur bangsa terus mengalami kemerosotan secara cepat. Dan,
celakanya berbagai bentuk pelanggaran itu dengan segera dan instan menyebar
melalui media komunikasi instan pula seperti internet, HP, dan semacamnya.
Ada kepedihan mendalam di sini. Meski bisa terkesan sedikit
simplistis dan menyederhanakan masalah, semua pelanggaran akhlak mulia dan nilai-nilai luhur itu
banyak bersumber
dari terjadinya krisis dalam watak dan karakter bangsa. Dan, jika dilacak lebih
jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu terkait banyak dengan semakin
tiadanya harmoni dalam keluarga. Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan
hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi
nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan
norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh
saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana banyak
ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia,
hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga.
Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar
dari keluarga dan rumah tangga hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak
di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah,
terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk
tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah
anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner
beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split
personality).
Sekolah seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan
sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa.
Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum
yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan
tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah
kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai
konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge
daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar